Rabu, 16 Mei 2012

[Resensi Buku] Proses Kreatif Menulis Cerpen

-->
Jika Anda Ingin Menulis Cerpen


Judul Buku      : Proses Kreatif Menulis Cerpen
Penulis             : Hermawan Aksan
Pengantar        : Dewi Lestari, Novelis
Penerbit           : Penebit Nuansa, Bandung
Tahun Terbit    : Cetakan 1, November 2011
Tebal               : 216

            Tidak bisa disangkal lagi bahwa Membaca dan Menulis merupakan modal paling utama untuk menjadi seorang penulis. Jika seseorang yang ingin menjadi penulis tapi tidak suka membaca, maka dapat dipastikan karya yang ditulis akan dangkal. Sedangkan jika hanya senang membaca tanpa pernah menulis, maka impian menjadi seorang penulis hendaknya dikubur saja.
            Begitu juga Hermawan Aksan, membaca baginya adalah kebutuhan, dalam bab kesembilan belas (Membaca Itu Bernapas), Hermawan menulis: “Membacalah, maka akan kautemukan banyak sumber ide bagi penulisan. Tulisan akan bertambah kaya. Gaya tulisan akan terasah (hlm. 158).”
            Kepada para calon penulis cerpen, buku ini ditujukan dan direkomendasikan. Karena selain akan diajarkan bagaimana menulis cerpen yang baik, buku ini juga memuat banyak cerpen yang sangat bagus untuk dijadikan “bahan bacaan” yang bergizi untuk menyegarkan dan memperkaya ide untuk menulis. Ada sekitar sebelas cerpen dalam buku ini—tiga cerpen mini, dua cerpen Hermawan Aksan sendiri dan enam cerpen penulis lain. (ada cerpennya O Henry yang sangat legendaris juga loh!)
            Bagaimana dengan teori ataupun kiat menulis cerpennya? Tentu saja juga ada, malah lumayan lengkap dan dengan mudah dimengerti karena ditulis dengan bahasa yang sederhana. Mulai dari bagaimana menggali ide, mengenal unsur-unsur fiksi, menjaring tema dan topik, mencari judul, menyusun plot, membuka dan menutup cerita, memilih diksi, menyunting, sampai tips agar mudah diterima redaksi.
            Hermawan Aksan yang sebagai redaktur Harian Tribun Jabar, banyak memberikan bocoran tentang pertimbangan kebanyakan redaktur dalam memilih cerpen, mengapa sebuah naskah dimuat dan tidak. Penulis juga memberi saran bagaimana memperkaya isi cerita dan juga memberi tahu apa saja kesalahan-kesalahan penulis pada umumnya.
            Kesalahan-kesalahan yang biasanya dilakukan itu adalah menunda-nunda waktu penulisan, menuliskan kata-kata yang rumit padahal sebenarnya bisa dituliskan dengan bahasa yang lebih sederhana, menjelaskan dengan bahasa yang terlalu berbunga, berhenti di tengah jalan, cepat menyerah dan menunggu waktu yang tepat untuk menulis padahal menulis bisa kapan saja.
            Kemudian biasanya penulis pemula akan bmengeluh, “Saya ingin menjadi penulis, tapi saya tidak tahu apa yang bisa saya tulis?” Jawabannya bisa dilihat pada halaman 99, Hermawan menuliskan beberapa sumber-sumber ide yang bisa digali seperti Pengalaman Pribadi; Banyak penulis besar yang terpicu membuat karya dari pengalaman mereka, sebut saja Mochtar Lubis, Budi Darma, Ernest Hemingway. Kemudian, ide cerita bisa juga berasal dari Obrolan Dengan Orang Lain seperti cerpen Hermawan yang berjudul “Rose”. Bisa juga ide itu dari Sejarah, Petualangan, bahkan Mimpi, dan lain sebagainya.
            Di dalam buku ini Hermawan juga banyak menceritakan perjalanan kepenulisan pribadinya; tentang cerpen pertamanya yang dimuat, buku pertamanya yang terbit, pengalaman menerjemahkan buku, pengalaman menjadi editor dan penyunting buku, pengalaman menulis buku dalam sepuluh hari dan pengalaman menjadi redaktur. Pengalaman-pengalaman ini sangat baik untuk dijadikan pemicu semangat bagi penulis lainnya dan mereka yang bercita-cita menjadi penulis.
            Dari pengalaman tersebut Hermawan mengatakan, “Tapi dalam perjalananku, kemudian aku menyimpulkan bahwa, setidaknya, menulis itu tidak sesulit yang dibayangkan. Karena itu, melalui buku ini, aku juga ingin memberikan gambaran bahwa menulis itu bukanlah kegiatan yang rumit. Menulis juga tidak memerlukan bakat besar. Bakat yang biasa-biasa saja punya peluang menjadi penulis. Lagi pula,  siapa sih yang tahu bahwa kita punya—atau tidak punya—bakat menulis? Analogi yang yang paling terkenal adalah ucapan Thomas Alva Edison : 1 persen bakat, 99 persen kerja keras (hal 17).
            Ada dua kekurangan buku ini. Yang pertama, desain covernya kurang menarik, padahal desain isinya cukup menarik karena ditambahkan foto-foto penulis dunia dan gambar-gambar menarik di tiap awal bab. Dan yang kedua, ada pada beberapa pernyataan Hermawan yang sedikit janggal. Pada halaman 42, Hermawan menulis:
[Salah satu kekeliruan yang kerap dilakukan penulis pemula yang memakai sudut pandang orang pertama adalah tokoh lain di luar si “aku” juga mengetahui isi hati dan pikirannya. Misalnya:
‘Matanya yang tajam menghujam ke wjahku. Giginya gemeretak menahan marah. Ia menganggapku lelaki ang tidak tahu diri.’
Bagaimana si “aku” tahu bahwa tokoh “ia” memiliki anggapan seperti itu?]
            Hermawan benar dengan mengatakan tokoh utama atau “aku” tidak bisa mengetahui apa yang dirasakan “ia”, tapi bukankah si “aku” boleh-boleh saja mengira apa yang dipikirkan “ia”? Kejadian itu sama seperti saat kita mengira orang lain menganggap kita bodoh karena orang itu menertawakan kita dengan pandangan mata yang meremehkan. Jadi kalimat ini bukan sebuah kesalahan atau kekeliruan.
            Kemudian di halaman 75 Hermawan menulis:
[Contoh lain, seorang redakur cerpen sebuah harian pernah menceritakan pengalamannya membaca cerpen seorang pemula. Pada salah satu alinea cerpen dituliskan:
‘Malam itu semakin dingin. Padahal pintu dan jendela  kamar sudah tertutup rapat. Di luar, langit hitam tanpa bintang.’
Lho, kalau kamar itu tertutup, bagaimana si tokoh tahu di luar langit tanpa bintang?]
            Anggapan Hermawan benar jika pada alinea itu diketahui bahwa sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang Orang Pertama—yang terbatas. Tapi anggapannya salah jika alinea ini menggunakan sudut pandang Orang Ketiga Serba Tahu. Jadi, kita belum bisa menyalahkan atau membenarkan, sebelum alinea yang dikutip Hermawan itu diketahui menggunakan sudut pandang apa.
            Sudah banyak buku kepenulisan yang beredar di Indonesia, tapi buku kepenulisan yang mengkhususkan pada cerpen dan ditulis oleh orang Indonesia sendiri tergolong langka. Kita mungkin cuma bisa menyebut buku  seperti Yuk, Nulis Cerpen Yuk oleh Muhammad Diponegoro, Kiat Menulis Cerita Pendek oleh Harris Effendi Thahar, atau Creative Writing: Tips dan Strategi Menulis Cerpen dan Novel karya A.S. Laksana. Dan buku Proses Kreatif Menulis Cerpen karya Hermawan Aksan ini pun telah mengisi kekosongan literatur tersebut. Sebuah karya yang patut diapresiasi.
            Jadi tunggu apa lagi? Ingin menulis cerpen? Baca buku ini!