Minggu, 12 Februari 2012

[BOOK REVIEW] Foucault's Pendulum

Rencana dan Bencana



Judul: Foucault's Pendulum
Pengarang: Umberto Eco
Penerbit: Bentang Pustaka
Penerjemah: Nin Bakdi Soemanto
Tahun: 2010

........................

Waktu saya selesai membaca Foucault’s Pendulum, rasanya seperti baru saja melahirkan! Lega sekali. Bagaimana tidak? Selain halamannya yang tebal dan luas (tebal: xii+694 hlm. Ukuran kertas: 15,5cmx23,5cm), fontnya kecil-kecil (mungkin 11. Jika ada kutipan maka fontnya jadi tambah kecil, mungkin 10), dan bahasanya alamak rumit banget! Rumit dan juga pelik.

Tapi ajaibnya novel ini tidak membosankan sama sekali, malah ingin membaliknya terus menerus. Dan setelah selesai dan tamat membaca novel ‘berat’ ini, rasanya ingin mengulang membacanya dari awal lagi. Saya menyebutnya novel ‘berat’ karena memang selain bobot buku ini cukup lumayan, novel ini penuh berisikan banyak kata-frasa-kalimat yang sulit dicerna (bahkan banyak frasa latin yang tidak diterjemahkan), mitos, filsafat dan teka-teki matematika. Membuat kepala penuh. Tapi anehnya (tadi ajaib sekarang aneh) saya sama sekali tidak ingin meletakkan novel ini, mungkin karena alur dan jalan ceritanya yang menawan, atau mungkin karena keluwesan Umberto Eco dalam memakai bahasa dan simbol, serta rentetan kiasan dan rujukannya sangat menakjubkan itu yang memikat saya, dan pembaca lainnya! Saya bagai dihidangkan dengan jamuan mewah oleh pemilik rumah yang penuh cita rasa. Kesan yang saya peroleh lainnya saat membaca novel ini adalah saya seperti terbawa masuk pada era abad pertengahan yang begitu kental pada novel ini. Perasaan seperti itu tidak lain karena memang Umberto Eco adalah seorang ahlinya Zaman Pertengahan. Dan akhir novel ini sungguh tak terbesit sama sekali.

Ringkasan cerita: Tiga editor (Belbo, Diotallevi dan Casaubon) sebuah penerbit buku (Garamond Press) yang lelah membaca bertumpuk-tumpuk manuskrip sinting tentang teori-teori konspirasi okultisme (gaib, mistik) mulai terinspirasi oleh kisah konspirasi luar biasa yang diceritakan oleh kolonel aneh, memutuskan untuk sedikit bersenang-senang dengan membuat teori konspirasi mereka sendiri. Sebuah teori konspirasi baru yang menghubung-hubungkan dengan teori konspirasi lain. Dari Freemasonry, Kabala, hingga Kesatria Templar, tak satu pun terlewatkan (Saya dibuat bengong karena kurang begitu tahu perkumpulan rahasia semacam ini). Teori baru itu mereka namai “The Plan” atau dalam novel terjemahan ini disebut “Rencana”. Namun, permainan ini berubah menjadi teror ketika para penggemar dan peneliti teori konspirasi menganggap “Rencana” benar-benar serius. Lebih buruk lagi, sebuah perkumpulan rahasia meyakini bahwa salah seorang editor tersebut memiliki kunci harta karun milik Kesatria Templar yang hilang.

Mereka mulai mengacak informasi di komputer dan tak pernah membayangkan akibat mengerikan dari perbuatan mereka. Mereka hanya berpikir sedang bersenang-senang. Namun ketika permainan itu dimulai, kematian demi kematian pun dimulai. Dan, mereka berada dalam situasi yang  menggelisahkan.
Judul asli dalam bahasa Italia yakni Il Pendolo di Foucault diterbitkan di negaranya pada tahun1988 kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris setahun kemudian oleh William Weaver menjadi Foucault’s Pendulum, kemudian diterjemahkan oleh Nin Bakdi Soemanto dalam bahasa Indonesia tiga puluh tahun berikutnya dan terbitlah novel ini pada November 2010. (Dalam hati saya bertanya, mengapa lama sekali baru diterjemahkan? 30 tahun)

Judul buku mengacu kepada pendulum yang sebenarnya dirancang oleh fisikawan Perancis Léon Foucault untuk menunjukkan rotasi bumi, yang memiliki arti simbolis dalam novel ini. Meskipun beberapa percaya mengacu pada filsuf Michel Foucault, Eco dengan tegas menolak anggapan itu. Novel ini terbagi menjadi sepuluh bagian dari Sefirot Kabbala yang berisi 120 bab, jumlah bab yang indah bukan? Tiap bab diawali dengan kutipan dari buku-buku filsafat dan sejarah, seperti yang saya katakan tadi rujukan Eco sangat menakjubkan.

Karena begitu banyaknya referensi esoterik (yang hanya diketahui dan dipahami orang tertentu) dan alkimia, maka banyak kritikus yang menyarankan untuk dimuatnya indeks dan glosarium. Dan dalam terjemahan Indonesia ini tidak diberi indeks tapi dilengkapi glosarium yang menurut saya sangat kurang dan tidak efektif karena glosarium dibuat berdasarkan urut abjad bukan urut tiap bab seperti glosarium pada novel Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, dan glosarium dalam novel ini pun saya temukan sedikit ada yang kurang tepat. Seperti contoh saat mengartikan “Fiat Lux”. Di sini diterangkan bahwa Fiat Lux adalah “Frasa bahasa Latin  yang berarti “maka jadilah”. Yang merujuk pada firman Tuhan dalam Kitab Kejadian [1:3] “Tuhan berfirman, jadilah, maka jadilah.” Tentu saja keterangan ini kurang benar karena ayat di atas itu adalah ayat dalam Al Quran Surah Yaasiin (36) ayat 82. Sedangkan Kitab Kejadian pasal 1 ayat 3 berbunyi “Jadilah terang.” Lalu terang itu jadi” walau serupa tapi tidak sama.

Kekurangan yang lain adalah tidak diterjemahkannya frasa Latin yang sangat banyak pada novel ini. Mungkin penerjemahnya dikejar tenggat waktu sampai tidak sempat menerjemahkan frasa-frasa tersebut, apalagi novel setebal ini. Padahal pada novel Umberto Eco yang lebih dulu (The Name of the Rose) penerjemah yang sama yakni Nin Bakdi Soemanto selalu menerjemahkan frasa tersebut ke bahasa Indonesia melalui footnote. Akibat frasa Latin yang tidak diterjemahkan itu, pembaca yang tidak paham bahasa Latin seperti, saya cuma bisa mengira-ngira artinya, hanya menikmati nuansa dan bunyi frasa itu terucap, atau seringkali malah frasa itu saya tinggal tidak saya baca.

Namun terlepas dari itu, novel ini sangat mudah diikuti dan plotnya pun sangat menawan. “Alur cerita sangat dinamis bahkan lebih kaya intrik dibanding The Name of the Rose.” Begitulah komentar New York Times. Dan saya pun setuju, saya lebih tergerak membaca Foucault’s Pendulum daripada The Name of The Rose.

Saran saya jika Anda membaca novel ini, siapkanlah pensil untuk menggarisbawahi ungkapan-ungkapan dan metafora-metafora jenius bahkan kadang lucu yang dilontarkan Eco dalam novelnya ini, karna sayang sekali jika tidak Anda tandai dan saat Anda ingin mencarinya kembali hal itu menjadi sulit karena tebalnya halaman. Dan bacalah beberapa kali halaman-halaman yang tidak Anda mengerti maksudnya karena sastra berkualitas memang perlu dibaca pelan-pelan, berkali-kali, dan mungkin butuh tempat yang agak sepi dan secangkir kopi.

Jika Anda menyukai novel-novel Dan Brown, maka saya jamin Anda akan lebih puas membaca Foucaut’s Pendulum, buktikan sendiri!