Senin, 29 April 2013

[BOOK REVIEW] THE READER


CINTA PERTAMA SANG PEMBACA
The Reader, Sang Juru Baca by Bernhard Schlink
diterbitkan Elex Media Komputindo,
Juni 2012, 232 halaman

 

Saat aku membaca The Reader, ada satu kutipan yang teringat olehku. Aku mencari buku yang memuat kutipan itu, dan sungguh di luar dugaan, saat aku membuka buku tersebut, aku langsung menemukan kutipan itu. 

Dari Victor Hugo: “Belajar membaca bagaikan menyalakan api; setiap suku kata yang dieja akan menjadi percik yang menerangi.”

Kita mungkin yang bisadan tahu benar sebuah kenikmatan tiada tara darimembaca tidak pernah tau bagaimana rasanya menjadi seorang buta huruf. Betapa putus asanya mereka dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, ketika mencari jalan dan alamat, atau ketika memilih menu di restoran, tentang betapa kecemasan dan rendah diri untuk melakukan rutinitas terpola dan familier di tengah-tengah orang yang bisa membaca dengan mudah. Dan hanya ada satu solusi bagi mereka yang buta huruf, mereka harus belajar membaca. Akan kuceritakan nanti bagian ‘butu huruf’ dari novel indah ini.
 
The Reader bertutur dengan sudut pandang ‘aku’ dari seorang lelaki bernama Michel Berg (Jerman) yang mengingat kisah cinta pertamanya dengan wanita yang jauh lebih tua darinya (berusia di atas 30 tahun). Ternyata cinta pertama ini gaungnya terus menggema sampai akhir hidupnya, bahkan selamanya dan tak bisa tergantikan.

Karya sastra kadang membuat kita banyak mengaca pada kehidupan kita sendiri, begitupun aku. Buku ini berkali-kali membuat pikiranku melesat kembali mengingat masa lalu, menemukan jawaban, dan mengorganisasi kehidupan kita sendiri. Mari kita mulai dari awal kisah pilu ini...

Saat Michel Berg berusia lima belas tahun, dia menderita sakit kuning (semacam penyakit liver) selama berbulan-bulan di awal musim gugur hingga musim semi. Simak bagaimana penulisnya menggambarkan keadaan sakitnya:

Setiap langkah membutuhkan perjuangan. Ketika harus menaiki tangga, baik di rumah atau di sekolah, kakiku terasa sulit untuk digerakkan. Aku tidak berselera makan. Meskipun merasa lapar saat duduk di meja makan, rasa mual itu langsung menyerang. Setiap pagi aku bangun dengan mulut kering dan tubuhku terasa berat seperti berada di tempat yang salah. Aku malu karena begitu lemah. Terlebih lagi karena aku muntah. Ini hal yang tak pernah kualami seumur hidupku. Tiba-tiba mulutku terasa penuh dan aku berusaha menelannya kembali, mengatupkan bibirku rapat-rapat dan membekap mulutku, tapi makanan itu menyembur keluar menerobos jari-jariku.” (hlm. 4)
Saat di perjalanan pulang dari sekolah dia sudah tak tahan, dia turun dari bus lalu muntah dan menangis. Seorang wanita menolongnya dengan sedikit kasar, membersihkan wajahnya dan mengantarnya pulang. 
 
Setelah hari-hari istirahatnya yang panjang, akhirnya dia sembuh dan menceritakan pada ibunya tentang wanita yang menolongnya itu. Ibunya menyarankan membawa bunga untuk wanita itu sebagai ucapan terimakasih. Dia melakukannya. Dia kembali ke tempat wanita itu. Saat di depan pintu dia tak begitu disambut. Bukan berarti wanita itu jahat, tapi memang seperti itulah sifatnya. Dia menyuruh menaruh bunganya begitu saja sedangkan wanita itu sedang menyetrika baju dalam-nya. Lalu saat dia hendak kembali pulang, wanita itu ingin sekalian keluar bersama Berg karena ada urusan juga di luar. Wanita itu menyuruhnya menunggunya, dia berganti pakaian. Pintunya tidak tertutup dan Michael Berg berdebar-debar menyaksikan wanita itu yang tengah mengenakan stokingnya. Berg lari begitu saja saat wanita itu melihatnya sedang mengamatinya.

Hari berikutnya tanpa alasan, dia datang lagi ke rumah wanita itu. Dan dia disuruh membawakan arang dari ruang bawah tanah. Wajah dan sekujur tubuhnya kotor karena longsoran arang. Dia disuruh melepas pakaian dan mandi, wanita itu melihatnya. Setelah selesai mandi. Mereka memulai kisah cintanya.

Berikutnya Michael Berg datang lagi, lagi dan lagi ke rumah wanita itu. Dan pada pertemuan yang kesekian kali, baru dia ketahui namanya adalah Hanna Schmitz. Ketika mereka selesai dengan ‘urusan pribadi’ mereka, mereka berbaring bersama dan ngobrol santai (pillow talk) dan mereka menanyakan rutinitas masing-masing. Hanna sangat tertarik begitu Berg mengatakan dia membaca buku sastra. Hanna meminta membacakan buku untuknya. Kini rutinitas mereka berganti. Sebelum bercinta, Hanna memintanya membacakan buku terlebih dahulu.

Michael Berg sangat mengagumi dan mencintai Hanna, tapi terkadang mereka bertengkar dan Michael Berg yang mengalah, selalu begitu. Dia mengajak Hanna pergi beberapa hari setelah menjual koleksi perangkonya untuk bekal perjalanan. Ketika bersepeda, dia senang sekali melihat Hanna dan roknya yang berkibar-kibar. Dia juga membawanya berkunjung ke rumahnya saat tidak ada orang. Hanna sangat terpukau melihat ruang kerja ayah Berg yang dipenuhi oleh buku.

Hanna selalu menyukai buku, dia menangis sesengukan saat dibacakan buku sedih, kadang bersemangat dan gembira, bahkan merasa jijik saat dibacakan The lady Chatterley’s Lover. Dia sangat polos.

Anehnya, Michael Berg yang amat mencintai Hanna tidak mau mengenalkan (atau menceritakan) Hanna pada temannya sebagai kekasihnya. 
“Aku tidak mau mengakui Hanna dan menyangkal hubungan kami berdua. Aku tahubahwa penyangkalan adalah bentuk dari penghinatatan yang tidak mencolok .... dalam satu hubungan, penyangkalan ini juga merupakan satu bentuk penghianatan.” (hlm. 76)
Aku setuju sekali, saat kita menjalin hubungan dengan seseorang, kita tentu ingin diakui sebagai orang yang istimewa, bukan disembunyikan. Hikz. *Pengalaman pribadi banget nih*

Lalu Hanna pergi begitu saja tanpa penjelasan kepada Berg. Dia terpukul dalam kesedihan yang mendalam. Dan selanjutnya menjadi mati rasa. Sangat kasihan. Dan setelah dia masuk universitas menggambil hukum dia dipertemukan lagi dengan Hanna setelah sekian lamanya. Hanna dan beberapa wanita lainnya didakwa sebagai penjahat karena membiarkan orang-orang terpanggang hidup-hidup dalam gereja yang terbakar. Dia menjadi salah satu penjaga dan membiarkan gereja itu tertutup sampai jeritan-jeritan dari dalam sudah tiada. Itu terjadi dalam masa Nazi, masa holocaust yang mengerikan. Hanna bekerja untuk mereka.

Dalam pengadilan itulah Berg baru menyadari kalau selama ini Hanna adalah seorang buta huruf. Dan karena itu pula Hanna mengakui kejahatan yang tidak ia lakukan. Dia disuruh menulis untuk menilai bentuk tulisannya dan untuk mencocokkan laporan u\yang dituduhkan bahwa Hanna-lah yang menulis. Agar rahasianya tak terbongkar, dia mengakui telah menulisnya. Berg sangat kecewa pada Hanna yang sangat konyol menerima hukuman yang bukan disebabkannya. 
 
Kehidupan berlanjut. Michael Berg menikah saat Getrud mengandung. Lima tahun setelahnya dia cerai dan anaknya tinggal bersamanya lalu setelah remaja, Julia (anaknya) tinggal di asrama. Tapi bagi Michel Berg hidup tak benar-benar berlanjut, dia masih selalu teringat akan Hanna. Dia meminta wanita-wanita yang akan menjalin hubungan dengannya meniru sifat-sifat Hanna, tapi tak ada yang bisa dan benar melakukannya. Meski di luar dia terlihat kompeten dan profesional pada pekerjaannya, di dalamnya dia sangat kacau. Dia jarang bisa tidur. Dan di tengah gundah gulananya ini, dia membaca banyak buku dan mengirimkan rekamannya pada Hanna bersama alat pemutar kasetnya juga. 
 
Setelah lama berjalan proses pengiriman rekaman buku ini, ada sesuatu yang mengejutkan. Ada sebuah surat yang sangat pendek bertuliskan, “Jungchen, cerita terakhir bagus sekali. Hanna.” Michel Berg senang sekali, akhirnya Hanna bisa menulis, meski tulisannya sangat besar dan ukurannya sangat aneh dan sangat ditekan, tapi dia tau Hanna merasa senang. Dia mempelajari baca tulis dari rekaman-rekaman Michael Berg dan dia cocokkan dengan buku yang sama yang dia pinjam di perpustakaan penjara. Setelah itu surat-surat Hanna mengalir terus. Kebanyakan adalah komentar-komentar tentang pengarang, puisi , atau tokoh cerita dan pengamatannya tentang penjara.
Tanaman forsythia sedang berbunga di halaman” atau “aku suka karena di musim panas ini sering terjadi hujan badai disertai petir” atau “dari balik jendela aku bisa melihat burung-burung berkumpul hendak terbang ke selatan”. Sering karena tulisan Hanna itu, aku jadi memperhatikan bunga forsythia, hujan badai disertai petir di musim panas dan kawanan burung. Komentarnya tentang karya sastra sering mencengangkan. “Schinitzer menyalak. Stefan Zweig itu seekor anjing mati” atau “Keller membutuhkan seorang perempuan” atau “puisi-puisi Goethe seperti gambar-gambar kecil dalam bingkai yang indah” atau “Lenz pastilah menulis dengan mesin ketik.” (hlm. 197)
Kisah ini berlanjut hingga Hanna mendapat grasi dan dibebaskan, namun kejadian yang tak terduga malah terjadi. Hanna memilih lain. Anda bisa membacanya sendiri dalam novel indah, menggelisahkan, dan pada akhirnya meruntuhkan secara moril ini. Cara tutur yang tidak biasa oleh Berhard Schlink ini sangat mengharukan, menggungah dan mencerahkan ... The Reader melompati batas kebangsaan dan berbicara langsung ke hati. Mulai halaman pertama, The Reader memikat perasaan dan pikiran.