Rabu, 11 April 2012

[BOOK REVIEW] DEAR WRITER, THE CLASSIC GUIDE TO WRITING FICTION

Bukan Buku Biasa

Judul Buku: Menulis dengan Emosi (Panduan Empatik Mengarang Fiksi)
Diterjemahkan dari: Dear Writer; The Classic Guide to Writing Fiction
Penulis: Carmel Bird
Penerjemah: Eva Y. Nukman
Penerbit: Kaifa
Tebal: 260 halaman
Tahun: cetakan II, 2001
***


            Apa itu Buku Ajaib? Buku Ajaib hanyalah sebuah istilah yang saya pakai saat menyebut buku yang paling memengaruhi hidup saya, buku paling bersejarah bagi saya. Apa semacam buku Favorit? Tidak. Bagi saya itu berbeda. Lalu apa bedanya Buku Ajaib dan Buku Favorit? Buku Favorit adalah buku yang sangat saya sukai, jumlahnya relatif banyak karena buku bagus yang saya baca jumlahnya juga cukup banyak, tapi belum tentu buku ini memengaruhi hidup saya. Tapi Buku Ajaib sudah pasti favorit saya dan jumlahnya relatif sedikit bahkan mungkin jumlahnya cuma satu, dan benar-benar sangat mempengaruhi hidup saya. Dan Buku Ajaib saya itu adalah buku ini, Menulis Dengan Emosi....

            Seperti saat kita mencintai seseorang dengan (tanpa/sedikit/banyak) alasan, begitu juga saya sangat mencintai buku karya penulis perempuan Australia bernama Carmel Bird ini. Mungkin karena buku ini adalah salah satu buku-buku pertama yang saya baca dan isinya langsung memukau, dengan kata lain hati saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Apa pun alasan itu buku ini membuat saya memiliki tujuan hidup, mimpi, harapan, cita-cita. Karena buku inilah saya berani menetapkan impian saya menjadi seorang Penulis... Amin.

            Saya menemukan buku ini di gudang. Tertimbun bersama buku pelajaran dan lembaran-lembaran berdebu milik kakak perempuan saya. Waktu itu saya masih kelas 1 SMA, kakak saya kuliah di luar kota dan saya sendirian di rumah bersama orang tua. Buku ini sempat saya sisihkan karena tidak mengerti maksudnya dan waktu itu saya belum menyukai buku dan tidak pernah membaca buku selain buku pelajaran dan buku keagamaan. Tapi setelah saya baca berkali-kali seolah ada benih dalam hati saya yang berkecambah, tumbuh, lalu berbunga, merekah merah sangat cantik. Bunga ini berseri-seri sampai sekarang dan anehnya bunga ini tidak mau disirami air tapi hanya bahagia saat disiram kata-kata, kisah mengharukan yang menyentuh perasaan, cerita lucu, dongeng menakjubkan, bacaan dari sebuah buku. Kini bagi saya membaca adalah ibadah dan nafas jiwa.

            Mulai dari covernya saja saya sudah cinta. Berjudul Menulis dengan Emosi; Panduan Empatik Mengarang Fiksi—judul asli: Dear Writer: The Classic Guide to Writing Fiction. Dan masih pada covernya, tertulis kata-kata indah dari William Forrester, “Menulislah—pada saat awal—dengan hati. Perbaiki tulisan Anda dengan pikiran. Kunci pertama dalam menulis adalah bukan berpikir, melainkan mengungkapkan apa saja yang Anda rasakan.” Kelak kata-kata ini menjadi semacam mantra saat saya menyemangati diri sendiri dan orang lain jika bingung saat hendak menulis.

            Lalu saya buka halaman selanjutnya dan saya dikagetkan lagi dengan kata-kata bertenaga dari tiga pengarang besar dunia yang terdengar sangat mistis dan spiritual. Mark Twain, Bapak Sastra Modern Amerika, mengatakan, “Aku temukan bahwa semakin jauh aku mundur, semakin baik aku mengingat segala sesuatu, baik yang terjadi maupun tidak.” Kalimat kedua berasal dari pengarang novel Lolita, yang legendaris dari rusia, Vladimir Nabokov, “Sastra adalah penciptaan. Fiksi adalah fiksi. Menyebut sebuah cerita sebagai kisah sejati merupakan penghinaan bagi seni maupun bagi kebenaran.” Dan kutipan ketiga dari William Kennedy, berbunyi, “Menulis adalah seni yang begitu rumit, sungguh rumit memahami apa yang Anda coba keluarkan dari imajinasi Anda sendiri, dari kehidupan Anda sendiri.”

            Ketiga kutipan itu masih pada lembar awal, pada halaman-halaman selanjutnya Anda akan disuguhi kutipan-kutiapan inspirasional dari berbagai penulis terkenal dunia yang lainnya. Terlihat sekali bahwa Carmel Bird merupakan penulis yang sangat rajin membaca, mencatat, dan mengkliping banyak kutipan bertenaga tersebut, Anda bisa membuktikan jika Anda membaca buku ini sendiri. Di setiap awal bab—ada dua puluh dua surat (bab) dan tiga lampiran—akan dibuka dengan judul yang unik kemudian dibubuhkan kutipan yang berhubungan dengan bab tersebut. Saya ambil contoh pada Surat (bab) Kesepuluh, judul bab ini sangat unik: “Nama Sang Bayi. Judul bab ini dipakai Carmel Bird saat akan menuliskan bab yang akan membicarakan bagaimana mencari sebuah judul untuk tulisan kita. Lalu di bawah judul bab, ada kutipan dari Anais Nin, “Penggunaan kata yang menakjubkan itu dimaksudkan sebagai ajakan untuk ikut serta.” dan tak jarang di dalam isi suatu bab pun masih tertempel kutipan lain dan diberi kotak khusus. Begitu juga dengan surat-surat lainnya.

            Bukan berarti Carmel Bird hanya ‘tukang kutip’ orang lain, kata-kata darinya sendiri sangat mengilhami dan sangat memotivasi, saat dia meyakinkan bahwa semua orang berpeluang menjadi penulis  dan menyangkal bahwa diperlukan bakat besar untuk menjadi seorang penulis,  dia mengatakan “...bahwa bakat bisa ditemukan, diasah dan dikembangkan.” Lalu, pada pendahuluan, Carmel mengatakan, “...bahwa menulis fiksi lebih dari sekedar penguasaan teknik. Penulis juga harus merupakan pembaca, harus tahu cara membaca, dan cara berpikir tentang membaca dan menulis.” Bahasa yang dia gunakan sangat luwes, cerdas dan tulus, jauh dari kesan kaku buku manual atau menggurui. Saat dia memberi latihan pun, dia melakukannya dengan ajakan yang halus. Sehingga kita tidak terasa (atau dengan senang hati) saat mengerjakan latihan-latihan kecil yang dia minta kita lakukan.

            Saya rasa penyusunan buku ini sangat jenius. Dia merancang bukunya sedemikian rupa agar terasa hidup danmudah dipahami oleh murid-muridnya. Dan akhirnya dia pun menuliskannya dalam bentuk surat-menurat antara editor bernama Virginia O’Day kepada seorang perempuan yang sedang menulis fiksi, yang dia sapa “Dear Writer”; sebuah sapaan yang sangat mengakrabkan penulis dan pembaca, serta akan mengakhiri suratnya dengan “Salam Manis”. Jadi, buku ini adalah sebuah fiksi tentang fiksi. Dan dalam surat-menyurat ini, pembaca diberi sajian berbagai nasihat praktis menulis maupun saran-saran yang membesarkan hati dan menggugah semangat menulis—dari mencari ide cerita dan berimajinasi, cara mengawali dan mengakhiri cerita, hingga mengirimkan naskah yang sudah rampung ke majalah atau penerbit.

            Buku yang menjadi bacaan wajib di beberapa universitas di Australia ini dilengkapi dengan sebuah esai yang terlampir mengenai dorongan menulis dan proses kreatif dalam mengarang salah satu cerpen indahnya yang berjudul “Saat Keemasan”. Dan juga dilengkapi dengan profil penulis yang dikutipnya dalam buku ini. Carmel Bird sendiri telah menerbitkan tiga novel, empat kumpulan cerpen, dan dua buku inspirasi bagi penulis. dan dia juga seorang pengajar berpengalaman tentang karang mengarang (creative writing). Dia lahir di Tasmania pada tahun 1940 dan sekarang tinggal di Melbourne.

            Carmel tak henti-hentinya memotivasi pembacanya untuk tidak patah arang saat menulis, dia menulis, “Yang terpenting adalah tetap bekerja, pekerjaan sesungguhnya adalah tetap bekerja, terus dan terus sampai Anda puas bahwa Anda telah menyuarakan pandangan pribadi Anda tentang dunia, dengan cara yang membuat orang lain akan mendengarkan—dan akan merasa suka, terinformasikan, serta mungkin takjub.”
Karryn Goldsworthy dalam Australian Book Review mengatakan, “Ada beberapa alasan yang bagus untuk membeli dan membaca buku ini, tak hanya bagi orang-orang yang ingin menjadi penulis, tetapi juga bagi penggemar sastra, atau siapa pun yang suka membaca tulisan tentang menulis.”

            Meniru Mem Fox, pengarang Possum Magic, saya juga meneriakkan hal yang sama, “Menulis Dengan Emosi—saya suka sekali buku ini!”

            Jadi apa Buku Ajaibmu?