–PERTEMUAN
JERIT SUNYI TIGA WANITA–
.....
The
Hours by Michael Cunningham, diterjemahkan oleh Saphira Tanka Zoelfikar,
diterbitkan Jalasutra pertama kali pada tahun 2008. Tebal: 226.
.....
The
Hours (baca: “di auers”. Dulu aku membacanya “de hors” yang artinya berubah
menjadi ‘kuda’ haha ^_^) adalah salah satu novel favoritku, yang meskipun
kubaca berulang-ulang tetap saja terpukau dan terheran-heran dengan kejeniusan
penulisnya. Menurutku, The Hours adalah semacam perwujudan dari cita-cita atau
rencana Virginia Woolf yang belum kesampaian, dan Michael Cunningham
mengerjakannya dengan sangat hebat. Dalam buku diarinya pada tanggal 30 Agustus
1923, Virginia Woolf menulis:
“Waktuku mepet untuk membuat rencana. Aku mesti banyak sekali bilang tentang The Hours, dan penemuanku, bagaimana aku menggali gua cantik di balik karakter-karakterku, kupikir itu persis memberi sebagaimana keinginanku; kemanusiaan, humor, kedalaman. Gagasannya ialah gua-gua itu mesti berhubungan, dan pada saat bersamaan masing-masih menghadap cahaya matahari.”
Seperti
kata-kata Virginia di atas, novel The Hours yang kini sudah diselesaikan
Michael Cunningham pada tahun 1998 itu berisi karakter dengan sifat manusiawi,
humor, dan kedalaman yang sangat kental. Kata-kata Virginia Woolf yang sangat
penting digarisbawahi adalah: “Gagasannya
ialah gua-gua itu mesti berhubungan, dan pada saat bersamaan masing-masih
menghadap cahaya matahari”.
Dan (aku jadi harus berkali-kali mengulangi nih) Michael Cunningham dengan
sangat cantik “menghubungkan” tiga gua karakter ini dan “menghadapkan”
ketiganya dalam pertemuan yang luar biasa!
Dulu
aku begitu tersentak dengan endingnya. Mungkin karena dulu baru pertama kalinya
aku membacanya, yang membuatnya menjadi begitu berbeda dengan sekarang aku yang
melakukakan pembacaan ulang. Ada satu bagian dari novel itu yang kucari tapi
tak kutemukan. Tentang bagaimana hakikat seorang pembaca. Bagaimana pembaca
dengan begitu rupa dihadapkan oleh kehidupan dalam buku, tokoh-tokoh yang
berinteraksi dan menghadapi konflik masing-masing, dan saat buku itu tamat
dibaca, barulah pembaca sadar bahwa dia hanyalah orang yang sendiri, di tempat
yang sunyi. Tapi entah bagaimana (apa aku membaca buku lain? Atau memang ada
dalam The Hours namun aku melewatinya?) bagian yang kucari itu malah tidak
kujumpai di pembacaan
ulangku.
Akan
aku ceritakan, mengapa dulu aku tersentak membacanya. Membaca novel ini kuibaratkan seperti
mendayung rakit dengan perlahan di sebuah sungai di tengah belantara hutan yang
masih perawan. Kita disajikan begitu banyak detail yang menakjubkan, kita
terlena dibuatnya, dan tanpa sadar, tiba-tiba di ujung sungai kita terperosok
dalam air terjun! Ya, kurang lebih seperti itulah yang kurasakan saat selesai
membaca novel ini dulu: bagai dipalu tepat di akhir novel! Sekarang bagaimana?
Sekarang aku sudah tidak
begitu kaget lagi, tapi sampai saat ini aku masih (bahkan semakin) terkagum-kagum
dengan penulisan Michael Cunningham yang begitu jenius dan memikat. Bagaimana
dia menuliskan tiga kisah wanita yang berbeda zaman dengan teramat murung, merasa gagal dan
memang gagal, dirangkai bagai tiga kisah ini berjalan waktu demi waktu, secara
bersamaan dan simultan. Yang unik lagi tiga wanita itu bukan orang sembarangan,
mereka adalah: Virgina Woolf (penulis novel Mrs.
Dalloway, tokoh fakta, yang bunuh
diri), Laura Brown (pembaca novel Mrs.
Dalloway) dan Clarissa Voughan (tokoh yang mirip seperti Mrs. Dalloway). Bayangkan:
“Penulis”-“Pembaca”-“Tokoh Dalam Buku” hidup dalam satu
buku, ketiganya menjerit dalam
kesunyian, menjalin Waktu Demi Waktu pada lembar-lembar The Hours!
Baik
dalam kaver buku aslinya maupun terjemahannya, terasa sangat sukses dalam
menggambarkan isi buku ini. Di kaver aslinya digambarkan tiga kuntum tulip yang
agak layu dan mulai rontok dalam satu vas di suasana yang kelabu. Sedangkan
dalam versi terjemahan, kavernya merupakan sebuah gambar abstrak dua wajah
wanita, yang ruang kosong di antara keduanya, terdapat satu lagi sosok wanita.
Kedua kavernya melukiskan tiga wanita yang bertemu secara luar biasa meski
terpaut zaman yang berbeda. Bagaimana bisa? Bisa dong! Itulah (menurutku sih)
inti novel ini! Dan hanya bisa dibuktikan dengan membaca novelnya langsung! Hehe.. oke mari
kita bahas tiga tokoh sentral dalam novel ini:
~Mrs. Woolf
(Virginia Woolf – 1941).
Satu-satunya
tokoh nyata (Cunningham mengaku
berusaha
menuliskannya seakurat mungkin)
memilih—meski sempat dia ragu dan hendak mengurungkan—mati. Dia bunuh diri dengan menenggelamkan diri, setelah
mengantongi batu untuk pemberat, di sungai Ouse pada 1941. Novel ini dibuka dengan
kematian dan pertemuan pertama. Coba simak bagaimana Cunningham melukiskan
detik-detik kematian Virginia Woolf dengan metafora yang sangat indah:
“Hampir
terpaksa (terasa dipaksakan baginya) ia melangkah atau tersandung ke depan, dan
bebatuan itu menyeretnya. Sesaat, semua itu terkesan sepele; terkesan seperti
kegagalan biasa; hanya air dingin yang bisa dengan mudah ia renangi; tapi
segera seketika arus melilit tubuhnya, bagai pria kekar baru bangkit dari dasar
sungai dan sekuat tenanga menarik kakinya, lalu menahannya dalam pelukan.
Terasa sangat pribadi.” (hlm. 3)
Woooooaahh!! \(>_<)/ 5 bintang
untuk kalimat itu!!! Deskripsi yang tidak hanya sempurna, tapi GILAAA!!!!
KEERRREENN BEEUUDD!! Dan lagi, sebelum Mrs. Woolf bunuh diri (sekedar
mengingatkan, ini kejadian nyata lo ya! Bunuh diri beneran bray! Hiks, sedih kan?) dia meninggalkan surat yang
sangat romantis gila (aduh aku kok jadi alay banget sih?) yang bisa dibaca di
sini! Setelah prolog (gak nanggung-nanggung) yang berupa kematian (sekedar info
lagi, novel ini juga ditutup dengan kematian. Tuh kan: Surem abis!)
Selanjutnya kehidupan Virginia
diflashback di saat dia mulai menulis
novelnya yang berjudul “Mrs. Dalloway” dengan luapan semangat.
~Mrs. Brown alias Laura Brown.
Wanita
kutubuku yang sedang membaca Mrs. Dalloway karya Virginia Woolf. Mempunyai anak
lelaki berusia tiga tahun (Richie) dan sedang mengandung anak kedua. Mrs. Brown
seperti kebanyakan kutubuku lainnya: berimajinasi tinggi dan cenderung perfeksionis. Kecenderungan inilah
yang menyesakkan dadanya, di satu sisi, dia ingin mempersiapkan pesta ulang
tahun suaminya (usia suaminya tiga tahun lebih mudah, dia merasakan perbedaan
usia ini sangat memalukan) dengan sempurna, tapi sedikit kegagalan dalam
membuat kue ulang tahun membuatnya sangat kesal dan frustasi berat. Dan di sisi lain
dia juga ingin dengan tenang membaca, tanpa ada gangguan rutinitas rumah tangga
dan gangguan anaknya (anak yang tidak bisa dikatakan “anak biasa”) yang sangat manis dan begitu mencintainya.
Dan wanita ini, dengan segala keanehannya yang masuk akal, sampai-sampai
memilih menitipkan anaknya pada tetangganya demi pergi ke hotel agar bisa
membaca dengan tenang.
Ketika
dia membaca Mrs. Dalloway, dia begitu terhanyut, kagum, heran, dan berpikir: bagaimana
bisa seorang yang bisa menulis buku dengan kalimat-kalimat cemerlang seperti
itu akhirnya bunuh diri?
~Mrs.
Dalloway alias Clarissa Voughan.
Wanita 52 tahun yang masih sangat anggun yang
mempersiapkan pesta (Mrs. Dalloway-nya Virginia Woolf juga sama merencanakan
pesta, tokohnya memang sangat
mirip)
untuk Richard, sahabat
tercintanya (mantan kekasih lebih tepatnya). Pengidap AIDS, seseorang yang
memberinya julukan “Mrs. Dalloway”, yang belakangan diketahui memiliki hasrat
terpendam kepada sesama
pria, Penulis jenius yang rumit dan sulit dipahami, dan
yang tinggal di apartemen kumuh. Richard adalah salah satu tokoh kunci, tokoh
yang sangat penting, dalam mempertemukan ketiga wanita sang tokoh utama ini.
Kegundahan dan kegelisahannya di saat dia hendak menerima penghargaan (Carrouthers Prize) untuk dedikasi
kepenulisannya, tapi keraguan dan perasaan putus asa rupanya sangat kuat
bergejolak di dalam dirinya. Jika pembaca tidak cermat atau tidak sabar, maka rahasia siapa sebenarnya
Richard tidak akan pernah terbongkar, dan inilah kejutan hebat itu!
***
Wah, tidak
terasa komentar singkatku ini sudah lumayan banyak, tapi tidak bisa kuungkapkan
semua tentang keagungan novel ini: deskripsinya yang sangat detail (yang
membuat bosan bagi yang tidak suka), metaforanya yang segar, penulisannya yang
unik dan paragraf-paragrafnya yang teramat panjang serta alurnya yang menawan. Tidak
salah jika novel ini mendapat tiga anugerah bergengsi sekaligus: Pulitzer Prize dan PEN/Faulkner Awards pada tahun yang sama (1999)
dan GLBT Book Award. Dan juga buku ini dimasukkan dalam daftar “1001 Buku Wajib
Baca Sebelum Mati” oleh Peter Boxal. Dan pada 2002 dibuat filmnya oleh Stephen
Daldry yang juga meraih banyak penghargaan dan menuai kritik sangat memuaskan!
Jika hanya ada satu kata yang sanggup mengungkapkan The Hours, maka kata
itu pasti adalah: “MARVELOUS!”
__________
NB:
~resensi ini ditulis untuk Baca Buku Bareng Blogger Buku Indonesia dengan tema buku peraih Pulitzer dan Buku yang difilmkan Peraih Oscar.
~surat Virginia bisa dibaca disini ---> http://www.facebook.com/notes/jamal-kutubi/sepucuk-surat-virginia-woolf-untuk-suaminya-sebelum-bunuh-diri/496688227027256
eh... keren banget kayaknya buku ini...
BalasHapusBahasanya berat nggak mas ?
Weleh filmnya yang main aktris keren semua :'))
emang keren! heheh bahasanya lumayan berat, tp memuaskan, membaca The Hours adalah pengalaman yg indah :)
Hapusblogwalking..
BalasHapusCeritanya menarik, bisa beli di mana buku ini ?
aq juga jual mbak Nannia buku ini. baik yg bahasa inggrs maupun terjemahan. kalo minat sms aq aja 085730154880
HapusDari reviewnya buku ini emang keren gila dan ternyata ada filmnya jg. Dari ide buku ini memang menarik, saya suka reviewnya bikin pembaca jadi pingin baca bukunya ☺
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMasih ada ga buku ini mas?
BalasHapus