Sabtu, 02 Februari 2013

[BOOK REVIEW] THE HOURS


PERTEMUAN JERIT SUNYI TIGA WANITA–
.....
The Hours by Michael Cunningham,  diterjemahkan oleh Saphira Tanka Zoelfikar, diterbitkan Jalasutra pertama kali pada tahun 2008. Tebal: 226.
 .....

The Hours (baca: “di auers”. Dulu aku membacanya “de hors” yang artinya berubah menjadi ‘kuda’ haha ^_^) adalah salah satu novel favoritku, yang meskipun kubaca berulang-ulang tetap saja terpukau dan terheran-heran dengan kejeniusan penulisnya. Menurutku, The Hours adalah semacam perwujudan dari cita-cita atau rencana Virginia Woolf yang belum kesampaian, dan Michael Cunningham mengerjakannya dengan sangat hebat. Dalam buku diarinya pada tanggal 30 Agustus 1923, Virginia Woolf menulis:
“Waktuku mepet untuk membuat rencana. Aku mesti banyak sekali bilang tentang The Hours, dan penemuanku, bagaimana aku menggali gua cantik di balik karakter-karakterku, kupikir itu persis memberi sebagaimana keinginanku; kemanusiaan, humor, kedalaman. Gagasannya ialah gua-gua itu mesti berhubungan, dan pada saat bersamaan masing-masih menghadap cahaya matahari.”
Seperti kata-kata Virginia di atas, novel The Hours yang kini sudah diselesaikan Michael Cunningham pada tahun 1998 itu berisi karakter dengan sifat manusiawi, humor, dan kedalaman yang sangat kental. Kata-kata Virginia Woolf yang sangat penting digarisbawahi adalah: Gagasannya ialah gua-gua itu mesti berhubungan, dan pada saat bersamaan masing-masih menghadap cahaya matahari. Dan (aku jadi harus berkali-kali mengulangi nih) Michael Cunningham dengan sangat cantik “menghubungkan” tiga gua karakter ini dan “menghadapkan” ketiganya dalam pertemuan yang luar biasa!

Dulu aku begitu tersentak dengan endingnya. Mungkin karena dulu baru pertama kalinya aku membacanya, yang membuatnya menjadi begitu berbeda dengan sekarang aku yang melakukakan pembacaan ulang. Ada satu bagian dari novel itu yang kucari tapi tak kutemukan. Tentang bagaimana hakikat seorang pembaca. Bagaimana pembaca dengan begitu rupa dihadapkan oleh kehidupan dalam buku, tokoh-tokoh yang berinteraksi dan menghadapi konflik masing-masing, dan saat buku itu tamat dibaca, barulah pembaca sadar bahwa dia hanyalah orang yang sendiri, di tempat yang sunyi. Tapi entah bagaimana (apa aku membaca buku lain? Atau memang ada dalam The Hours namun aku melewatinya?) bagian yang kucari itu malah tidak kujumpai di pembacaan ulangku.

Akan aku ceritakan, mengapa dulu aku tersentak membacanya. Membaca novel ini kuibaratkan seperti mendayung rakit dengan perlahan di sebuah sungai di tengah belantara hutan yang masih perawan. Kita disajikan begitu banyak detail yang menakjubkan, kita terlena dibuatnya, dan tanpa sadar, tiba-tiba di ujung sungai kita terperosok dalam air terjun! Ya, kurang lebih seperti itulah yang kurasakan saat selesai membaca novel ini dulu: bagai dipalu tepat di akhir novel! Sekarang bagaimana? Sekarang aku sudah tidak begitu kaget lagi, tapi sampai saat ini aku masih (bahkan semakin) terkagum-kagum dengan penulisan Michael Cunningham yang begitu jenius dan memikat. Bagaimana dia menuliskan tiga kisah wanita yang berbeda zaman dengan teramat murung, merasa gagal dan memang gagal, dirangkai bagai tiga kisah ini berjalan waktu demi waktu, secara bersamaan dan simultan. Yang unik lagi tiga wanita itu bukan orang sembarangan, mereka adalah: Virgina Woolf (penulis novel Mrs. Dalloway, tokoh fakta,  yang bunuh diri), Laura Brown (pembaca novel Mrs. Dalloway) dan Clarissa Voughan (tokoh yang mirip seperti Mrs. Dalloway). Bayangkan: “Penulis-Pembaca-Tokoh Dalam Buku” hidup dalam satu buku,  ketiganya menjerit dalam kesunyian, menjalin Waktu Demi Waktu pada lembar-lembar The Hours!

Baik dalam kaver buku aslinya maupun terjemahannya, terasa sangat sukses dalam menggambarkan isi buku ini. Di kaver aslinya digambarkan tiga kuntum tulip yang agak layu dan mulai rontok dalam satu vas di suasana yang kelabu. Sedangkan dalam versi terjemahan, kavernya merupakan sebuah gambar abstrak dua wajah wanita, yang ruang kosong di antara keduanya, terdapat satu lagi sosok wanita. Kedua kavernya melukiskan tiga wanita yang bertemu secara luar biasa meski terpaut zaman yang berbeda. Bagaimana bisa? Bisa dong! Itulah (menurutku sih) inti novel ini! Dan hanya bisa dibuktikan dengan membaca novelnya langsung! Hehe.. oke mari kita bahas tiga tokoh sentral dalam novel ini:

~Mrs. Woolf (Virginia Woolf – 1941). 


Satu-satunya tokoh nyata (Cunningham mengaku berusaha menuliskannya seakurat mungkin) memilih—meski sempat dia ragu dan hendak mengurungkan—mati. Dia bunuh diri dengan menenggelamkan diri, setelah mengantongi batu untuk pemberat, di sungai Ouse pada 1941. Novel ini dibuka dengan kematian dan pertemuan pertama. Coba simak bagaimana Cunningham melukiskan detik-detik kematian Virginia Woolf dengan metafora yang sangat indah:
“Hampir terpaksa (terasa dipaksakan baginya) ia melangkah atau tersandung ke depan, dan bebatuan itu menyeretnya. Sesaat, semua itu terkesan sepele; terkesan seperti kegagalan biasa; hanya air dingin yang bisa dengan mudah ia renangi; tapi segera seketika arus melilit tubuhnya, bagai pria kekar baru bangkit dari dasar sungai dan sekuat tenanga menarik kakinya, lalu menahannya dalam pelukan. Terasa sangat pribadi.” (hlm. 3)
 
          Woooooaahh!! \(>_<)/ 5 bintang untuk kalimat itu!!! Deskripsi yang tidak hanya sempurna, tapi GILAAA!!!! KEERRREENN BEEUUDD!! Dan lagi, sebelum Mrs. Woolf bunuh diri (sekedar mengingatkan, ini kejadian nyata lo ya! Bunuh diri beneran bray! Hiks, sedih kan?) dia meninggalkan surat yang sangat romantis gila (aduh aku kok jadi alay banget sih?) yang bisa dibaca di sini! Setelah prolog (gak nanggung-nanggung) yang berupa kematian (sekedar info lagi, novel ini juga ditutup dengan kematian. Tuh kan: Surem abis!) 
Selanjutnya kehidupan Virginia diflashback di saat dia mulai menulis novelnya yang berjudul “Mrs. Dalloway” dengan luapan semangat.

         




~Mrs. Brown alias Laura Brown.  


Wanita kutubuku yang sedang membaca Mrs. Dalloway karya Virginia Woolf. Mempunyai anak lelaki berusia tiga tahun (Richie) dan sedang mengandung anak kedua. Mrs. Brown seperti kebanyakan kutubuku lainnya: berimajinasi tinggi dan  cenderung perfeksionis. Kecenderungan inilah yang menyesakkan dadanya, di satu sisi, dia ingin mempersiapkan pesta ulang tahun suaminya (usia suaminya tiga tahun lebih mudah, dia merasakan perbedaan usia ini sangat memalukan) dengan sempurna, tapi sedikit kegagalan dalam membuat kue ulang tahun membuatnya sangat kesal dan frustasi berat. Dan di sisi lain dia juga ingin dengan tenang membaca, tanpa ada gangguan rutinitas rumah tangga dan gangguan anaknya (anak yang tidak bisa dikatakan “anak biasa”) yang sangat manis dan begitu mencintainya. Dan wanita ini, dengan segala keanehannya yang masuk akal, sampai-sampai memilih menitipkan anaknya pada tetangganya demi pergi ke hotel agar bisa membaca dengan tenang. 


Ketika dia membaca Mrs. Dalloway, dia begitu terhanyut, kagum, heran, dan berpikir: bagaimana bisa seorang yang bisa menulis buku dengan kalimat-kalimat cemerlang seperti itu akhirnya bunuh diri?
           

~Mrs. Dalloway alias Clarissa Voughan.


Wanita 52 tahun yang masih sangat anggun yang mempersiapkan pesta (Mrs. Dalloway-nya Virginia Woolf juga sama merencanakan pesta, tokohnya memang sangat mirip) untuk Richard, sahabat tercintanya (mantan kekasih lebih tepatnya). Pengidap AIDS, seseorang yang memberinya julukan “Mrs. Dalloway”, yang belakangan diketahui memiliki hasrat terpendam kepada sesama pria, Penulis jenius yang rumit dan sulit dipahami, dan yang tinggal di apartemen kumuh. Richard adalah salah satu tokoh kunci, tokoh yang sangat penting, dalam mempertemukan ketiga wanita sang tokoh utama ini. Kegundahan dan kegelisahannya di saat dia hendak menerima penghargaan (Carrouthers Prize) untuk dedikasi kepenulisannya, tapi keraguan dan perasaan putus asa rupanya sangat kuat bergejolak di dalam dirinya. Jika pembaca tidak cermat atau tidak sabar, maka rahasia siapa sebenarnya Richard tidak akan pernah terbongkar, dan inilah kejutan hebat itu!
***


          Wah, tidak terasa komentar singkatku ini sudah lumayan banyak, tapi tidak bisa kuungkapkan semua tentang keagungan novel ini: deskripsinya yang sangat detail (yang membuat bosan bagi yang tidak suka), metaforanya yang segar, penulisannya yang unik dan paragraf-paragrafnya yang teramat panjang serta alurnya yang menawan. Tidak salah jika novel ini mendapat tiga anugerah bergengsi sekaligus: Pulitzer Prize dan PEN/Faulkner Awards pada tahun yang sama (1999) dan GLBT Book Award. Dan juga buku ini dimasukkan dalam daftar “1001 Buku Wajib Baca Sebelum Mati” oleh Peter Boxal. Dan pada 2002 dibuat filmnya oleh Stephen Daldry yang juga meraih banyak penghargaan dan menuai kritik sangat memuaskan!

          Jika hanya ada satu kata yang sanggup mengungkapkan The Hours, maka kata itu pasti adalah: “MARVELOUS!”

__________
NB:
~resensi ini ditulis untuk Baca Buku Bareng Blogger Buku Indonesia dengan tema buku peraih Pulitzer dan Buku yang difilmkan Peraih Oscar.
~surat Virginia bisa dibaca disini ---> http://www.facebook.com/notes/jamal-kutubi/sepucuk-surat-virginia-woolf-untuk-suaminya-sebelum-bunuh-diri/496688227027256


7 komentar:

  1. eh... keren banget kayaknya buku ini...
    Bahasanya berat nggak mas ?
    Weleh filmnya yang main aktris keren semua :'))

    BalasHapus
    Balasan
    1. emang keren! heheh bahasanya lumayan berat, tp memuaskan, membaca The Hours adalah pengalaman yg indah :)

      Hapus
  2. blogwalking..
    Ceritanya menarik, bisa beli di mana buku ini ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. aq juga jual mbak Nannia buku ini. baik yg bahasa inggrs maupun terjemahan. kalo minat sms aq aja 085730154880

      Hapus
  3. Dari reviewnya buku ini emang keren gila dan ternyata ada filmnya jg. Dari ide buku ini memang menarik, saya suka reviewnya bikin pembaca jadi pingin baca bukunya ☺

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus