Judul Asli : Let Mots
Penulis : Jean-Paul Sartre
Penerjemah : R. Melinda
Penerbit : Selazar (Surabaya)
Tebal :
343 halaman
Tahun : 2009
Anda pernah ke gunung? Aku pernah dua kali! Sebenarnya satu setengah sih. Karena gunung pertama yang kudaki (Gunung Arjuno) tidak sampai puncak. Mendaki Bromo-lah yang kutuntaskan sampai puncak. Aku sangat suka gunung saat malam hari karena pada saat itulah bisa kulihat bintang dengan sangat jelas, berkeriapan sangat banyak, dan sungguh itu sangat membuatku terpukau!
Begitu juga dengan buku ini, The Words
juga seperti
‘malam di gunung’: dingin, gelap, namun indah dan dipenuhi mutiara-mutiara yang
benderang! Ya, buku yang ditulis Jean-Paul Sartre ini sangat rumit serumit
konstelasi bintang di gelapnya angkasa. Namun bukankah konstelasi itu begitu cantik dan
mengagumkan?
Kenapa aku
memilih The Words sebagai buku untuk posting bareng (meski aku terlambat) pada
bulan Oktober 2012 ini?
Jawabnya, karena aku adalah salah satu
orang yang menyukai genre ‘kepenulisaan’, ‘tulis-menulis’, ‘teknik mengarang’
atau ‘motivasi menulis’. Agak aneh ya genre kesukaanku ini? Aku menyukai genre
ini karena aku ingin menjadi seorang penulis! Jadi aku tak ragu-ragu untuk
membeli buku kepenulisan dan menyediakan rak khusus untuk genre satu ini.
Sebelumnya aku menulis tiga resensi buku kepenulisan lainnya yang bisa dilihat
di blog ini, dan rencananya aku akan menulis satu lagi buku kepenulisan dari
Stephen King karena. Aku berharap dengan membaca buku
kepenulisan, kutemukan teknik mengarang yang baik untuk menunjang
keterampilanku. Tapi ternyata aku tertipu! The Words bukanlah buku teknik
mengarang. Apa aku bersedih? Kecewa? Buku ini ternyata adalah Memoar murni! Autobiografi! Memoar ini berbeda dengan
Memoar Stephen King yang disertai dengan teknik mengarang. Agak-nya tagline dari
penerbittelah
mengecohku: “Menguak Kekuatan Menulis dan Membaca”
Tapi tak masalah! Buku ini juga luar biasa
dan mungkin
juga memotivasi, buku ini sangat jujur dan realistis serta
miris.
Terbitan Gramedia tahun 2001 |
Pertama-tama, untuk membaca The Words,
bukalah diri dan buka juga hatimu. Jauhkan prasangka buruk terhadap penerbitnya
yang menurut istilah salah satu peresensi terkenal Indonesia ‘terjemahann Selazar banting
kamus’. Ya, meskipun terjemahannya kaku, dan bikin menghela napas panjang,
teruskan saja membaca! Dengan cara seperti apa lagi untuk bisa menamatkan
Autobiografi ini? Hehe. Masalah terjemahan yang kaku ini membuatku ingin
mencari edisi terjemahan dari Gramedia, aku ingin tahu terjemahan ini kaku atau
memang bukunya yang berat? Gramedia mencetak dua versi buku ini.
Membaca The Words, aku harus menjadi
patung di kesunyian. Perhatianku harus terfokus pada ‘kata-kata’ yang ngocor
dari Sartre bila ingin pemahamanku tidak teralihkan, tapi sayangnya seringkali aku kehilangan fokus. Jadi, untuk mendengar
suara-suara jernih dari sartre, aku harus sabar dan sadar.
Terbitan Gramedia tahun 2009 Dilengkapi foto |
Mungkin
yang membuat buku ini berat adalah karena kebanyakan isi buku ini terdengar
seperti ‘omelan’ cerdas ! Banyak sekali aku diberi tahu (tell) olehnya
dan agak sedikit aku ditunjukkan (show). Ada lumayan banyak
kata-frase-kalimat dalam bahasa prancis yang dibiarkan begitu saja tanpa
diterjemahkan yang juga membuat buku ini pelik. Juga terdapat kalimat-kalimat
Sartre yang belum bisa kupahami, jadi aku hanya mengira-ngira. Intuisiku harus
berjalan. Dan juga, autobiografi ini sangat radikal dan holistik. Jadi aku
hanya membaca dan membaca. Aku terkontaminasi, keracunan kata-kata Sartre yang
hebat sampai ekstase.
Tapi
mungkin saja bukan kata-katanya yang berat, tapi terasa sulit karena dia adalah
Kebebasan! Dia sangat bebas dalam menulis! Ya, itu mungkin jawabannya!
Deskripsi
Sartre dalam menggambarkan situasi sangat hebat. Coba simak penggambaran Sartre
tentang bioskop yang kemunculannya baru-baru saja pada masanya:
“Kutantang mereka yang sezaman denganku untuk memberitahuku tanggal pengalaman pertama mereka ke bioskop ...” (hlm. 155)“Pertunjukan sudah akan dimulai. Saat kami tersandung di belakang si penjaga, aku merasaa aku ada di sana dengan diam-diam. Di atas kepala kami, seberkas cahaya dari lampu putih menyinari seberang hall memperlihatkan debu dan asap yang beterbangan di dalamnya. Sebuah piano berbunyi, lampu pijar ungu memancarkan cahaya ke dinding. Nafasku menangkap aroma desinfektan seperti pernis. Aroma ini dan buah malam bercampur dalam diriku ...”“Ibu mengganjalkan permadani lipat ke bawah pantatku agar posisi dudukku cukup tinggi. Akhirnya kutatap layar lebar di depan dan melihat kapur berpijar serta lanskap berkilau disaput hujan ...” (hlm. 156-157)
Kalimat-kalimat
yang ditulis Sartre pendek-pendek namun jenius. Seperti:
“Aku akan menghilang ke dalam udara yang tipis.” (Hlm. 33)“Di depan mataku, seekor ubur-ubur menabrak kaca akuarium, dengan lemah mengumpulkan tangan-tangannya dan berenang kembali ke dalam bayangan.” (Hlm. 142)“Telah kubunuh diriku karena hanya kematian yang bisa menikmati imortalitas ...” (Hlm. 262)
Aku
juga sempat terpikir untuk memberi judul resensi ini “Hot and Cold” karena
kata-kata Sartre sangat ‘pedas’ dan ‘dingin’ tapi seringkali (sangat sering)
kedinginan-nya itu membuatku tertawa terbahak-bahak. Tapi aku tak jadi
menggunakan judul “Hot and Cold” karena itu lebih mirip dengan Dispenser.
Menurutnya dia adalah sedikit dari jenis anak yang bisa membuat ibu mereka
tertawa dengan satu kerlingan. Pada halaman 290 tertulis: “Aku tak
memandangmu. Aku takut tawaku akan meledak di depannya,” ujar ibu padaku saat kami keluar.
Bisa
dikatakan, The Words adalah buku untuk mengenang masa kecilnya. 80 persen buku
ini memang menceritakan masa kanak-kanaknya. Dan seperti yang dikatakan Seamus
Heany, “Ketika berbicara tentang masa kecil mereka, para penulis nyaris
mencapai misteri diri mereka sendiri.” Dan masa kecil Sartre memang sangat
menakjubkan.
Buku
ini dibagi menjadi dua bagian: Membaca dan Menulis.
Pada
bab pertama: “Membaca”, Sartre mengawali kisah kelahirannya dengan tidak
langsung menceritakan dirinya, melainkan dia menceritakan dongeng keluarga.
Kakek buyutnya yang menginginkan salah satu anak putranya (Charles Schweitzer)
menjadi pastur, namun Charles malah melarikan diri, inilah kakek Sartre dari
pihak ibu. Nama Sartre sendiri diambil dari nama kakeknya dari pihak ayah. Ayah
Sartre meninggal karena sakit saat Ibu Sartre (Anne-Marie) berusia 20 tahun dan
Sartre sendiri masih sekitar 9 bulan, masih dalam susuan wanita lain karena
susu ibunya mengering. Di tulisan-tulisan selanjutnya, Sartre melukiskan
kedekatan yang istimewa dengan ibunya. Sartre merasa dirinya tidak pernah punya
Ayah. Kakeknyalah yang dia anggap sebagai Ayah. Kadang dia juga menyebut diri
sebagai ‘anak orang mati.’ Tulisnya: “Aku beruntung jadi anak seorang pria
mati. Pria mati yang telah menanamkan beberapa tetes sperma untuk menjadi
seorang anak ...” (hlm. 21)
Di
umurnya yang masih sangat muda, Anne-Marie sudah merana, miskin dan menganggur.
Dia pun memutuskan untuk kembali tinggal bersama orang tuanya bersama bayi
Sartre kecil. Apalagi Louise (Nenek Sartre) adalah wanita kaku dan pengeluh,
bahkan dia cemburu pada putrinya sendiri. “Kasihan Anne-Marie. Bila pasif
dituding sebagai beban. Sebaliknya, bila aktif ia dicurigai ingin menguasai
rumah tangga.” Tulis Sartre pada halaman 14.
Kakek
adalah seorang guru yang sangat terpelajar dan sangat penyayang terhadap
Sartre. Sejak kecil dia terbiasa dengan drama keluarga dan di usia yang masih
sangat kecil dia bersikeras untuk dibelikan buku meskipun dia hanya mendengar
ibunya yang membacakannya karena dia belum bisa membaca. Itu karena budaya
keluarganya yang gemar membaca dan mempunyai banyak buku. Dan ketika dia sudah
mampu membaca sendiri, dia sudah membaca Madame Bovary (ada salah ketik dalam
buku. Menulis ‘Bovary’ menjadi ‘Bonary’ di halaman 67, 81, 138). Ibunya sampai
khawatir karena pilihan bacaannya. Saat dia diberi bacaan untuk usianya, dia
menganggap bacaan itu terlalu mudah.
Saat
Sartre diberi Madam Pitcard (aku bingung siapa Madame Pitcard itu, enatah
tetangganya atau bibinya) hadiah, dia berharap itu adalah novel atau kumpulan
cerita pendek. Namun dia sangat kecewa karena isinya adlah sebuah buku yang
berisi daftar pertanyaan yang dirancang untuk diisi oleh anak-anak, seperti apa
warna favoritmu, apa parfum favoritmu. Namun dia bosan. Tetapi begitu dia
membaca pertanyaan, “Apa keinginanmu yang paling berharga?” dia pun menulis,
“Menjadi tentara dan membalaskan kematian.” Jawaban yang membikin kaget.
Sartre
kecil dibiarkan mengembara di perpustakaan. Coba simak kata-kata Sartre tentang
buku dan perpustakaan:
“Dengan sia-sia kucari dalam diriku kenangan yang berlebihan dan tanpa alasan manis dari masa kecilku berbau pedesaan. Aku tak pernah menggaruk tanah atau mencari sarang. Aku tak pernah mencari tanaman atau melemparkan batu-batu terhadap burung-burung. Namun buku-buku adalah burungku dan sarangku, hewan piaraanku dan pedesaanku. Perpustakaan adalah dunia yang memerangkapku dalam cermin yang luas tanpa batas, bervariasi dan tak bisa diramalkan. Kumulai petualangan tak masuk akal. Ini berarti memanjat kursi dan meja, beresiko menimbulkan longsoran yang bisa menguburku.” (Hlm. 57)“Telah kutemukan agamaku. Tak ada yang tampak lebih pentingbagiku daripada sebuahbuku. Kulihat perpustakaan sebagai kuil ...” (hlm. 72)
Tentang
mata sartre. Saat Sartre kecil, rambutnya dibiarkan panjang oleh ibunya. Mata
kananya mulai agak buruk karena tertutup rambut. Kakeknya tidak suka Sartre
dibiarkan berambut seperti perempuan. Jadi dia membawa Sartre jalan-jalan dan
membawanya ke pangkas rambut. Begitu rambutnya dipotong pendek, semua kaget,
kini ketahuan mata Sartre seperti mata katak.
Sartre kecil suka berimajinasi tentang
ksatria, perjuangan, tahanan dan pertempuran. Namun di dunia nyata dia tidak
punya teman. Tapi dia merasa diselamatkan kakeknya dengan buku-buku dan
syair-syair yang mereka tulis dan gubah bersama. Di akhir bab dia menulis:
“Aku diselamatkan kakek. Ia melemparku—tanpa bermaksud
begitu—kedalam kelihaian baru yang mengubah hidupku.”
Di bagian kedua buku ini: Menulis.
Kisahnya lebih menegangkan. Kelihaian menulisnya dalam usia anak-anak membuat
orang-orang berdecak kagum dan mengatakan bahwa Sartre dilahirkan untuk
menulis. Semua meramalkan Sartre akan menjadi penulis.
Tapi saat sartre juga memantapkan diri
untuk menjadi penulis, kakeknya gusar dan menolak sengit cita-cita seperti itu!
Aneh bukan? Padahal kakeklah yang membuat Sartre jadi mahir dalam bahasa, tapi
kenapa dia melarangnya untu jadi penulis? Belum lagi ketika buku pertamanya
terbit dan membuatnya diburu orang sehingga dia harus melarikan diri. Atau saat
buku berikutnya muncul dan laku keras namun royaltinya dia minta diberikan pada
orang-orang miskin sementara dirinya sendiri masih menulis sembunyi-sembunyi.
Penasaran? Bacalah The Words ini secara lengkap!
Karena aku tidak ingin menyiksa kalian
dengan resensi yang panjang. Aku akan mengutipkan kata-kata indah di bagian “Menulis”
ini:
“Untuk dilahirkan kembali, kau harus menulis. Dan untuk menulis, kau memerlukan otak, mata dan tangan. Bila pekerjaanmu terlaksana, organ-organ itu akan terserap kembali ke dalam diri mereka masing-masing.” (hlm. 257)Kulakukan pertemuan-pertemuan rahasia dengan Hantu Suci (Holy Spririt). “Kau akan jadi penulis”, ujarnya padaku. Kuperas tanganku, “Ada apa di sana yang berkaitan denganku, Tuan, sehingga kau memilihku?” tanyaku. “Tak ada yang khusus”, jawabnya. “Lantas kenapa aku?” tanyaku lagi. “Tak ada alasan”, elaknya. “Apa setidaknya aku punya kecakapan dengan pena?” tanyaku. “Tidak. Kau pikir karya besar lahir dari pena yang lancar?” ia balik bertanya. “Tuan, karena aku masih kecil, bagaimana bisa aku menghasilkan buku?” tanyaku ngotot. “Dengan ketekunan”, jawabnya. “Jadi siapapun bisa menulis?” tanyaku masih ngotot. “Siapapun. Tapi kau yang kupilih”. (Hlm. 246)Menulis, pekerjaan hitamku, tidak merujuk pada apapun dan sekaligus/tiba-tiba jadi akhir itu sendiri. Aku menulis demi menulis itu sendiri. Tak kusesali itu. Seandainya karyaku dibaca, aku mestinya mencoba untuk menyenangkan dan jadi mengagumkan lagi. Dalam kerahasiaanku, aku adalah nyata. (Hlm. 240)
Atau bagaimana saat dia menyamakan
pena adalah pedang dan saat dia tidak menulis sama saja dengan pedangnya patah:
“Kuhunus penaku dengan sepenuh hati untuk itu ...” (Hlm. 232)“Pedangku patah sehingga aku jadi kawanan biasa ...” (Hlm. 219)
Hm, Jean-Paul Sartre ... dari tulisannya dapat
kuketahui dia adalah orang yang benar-benar bebas dan merdeka. Dia aneh dan
nyeleneh. Sering ditentang baik dari kalangan kanan maupun kiri. Punck
keanehannya adalah ketika Akademi Swedia memberikan Hadiah Nobel Kesusastraan
kepadanya pada tahun 1964, tetapi ia menolak hadiah itu dengan alasan ia tidak
ingin “diubah menjadi lembaga”. Mungkin satu-satunya peraih nobel yang menolak
hadiah ratusan ribu dolar itu hanya Sartre satu-satunya. Kecuali Boris
Pasternak yang juga menolak Hadiah Nobel pada tahun 1958, tapi dia menolak
karena tekanan dari pemerintah Kremlin.
Kehidupannya memperlihatkan padaku
bagaimana seharusnya seorang penulis lahir dan berjuang. Penulis kelahiran
Paris pada 21 Juni 1905 ini meninggal dalam usia 75 tahun pada 15 April 1980.
Aku sudah terpengaruh olehnya. Dia
sudang mempengaruhiku. Aku mau membaca bukunya yang lain! terutama aku penasaran akan novel dan drama karyanya!
________________________________
________________________________
Karya-karya
Jean-Paul Sartre:
- Les mots, 1964; The Words, 1967 (Autobiografi masa kecilnya)
- L’extentialisme est un humanisme, 1946; Extensialism and Humanism, 1946 (Pemikiran Filsafat, eksistensi mendahului esensi)
- La nausee ; Nausea 1938 (Novel Filsafat)
- L ‘etre et le neant 1943; Being and Nothingness 1956 (Pemikiran Filsafat, karya utamanya)
- La critiqueu de la raison dialectique, 1960; Critic of Dialectical Reason, 1964 (ia membahas tentang sifat dan bentuk eksistensi dan keberadaan)
- Les Mouches, 1942: The Flies, 1946 (Drama)
- Huis clos, 1944: No Exit, 1957 (Drama)
- Les mains sales,1948; Dirty Hands, 1960
- Les sequestres d’Altona, 1959; The Condemned of Altona, 1960
- Juga menulis biografi Baudelaire, Jean Genet, dan Gustave Flaubert
- Ia jugamenerbitkan majalah sastra bulanan yang berpengaruh: Les temps modernes (Modern Time), tempat ia banyak menurunkankarya-karya esainya.
- Novel trilogi Les chemins de la liberte, 1945-1949; Paths of Freedom, 1947-1940
- Qu ‘estce que la litterature? 1948 ; What is Literature? 1949
The Words nyangkut di pohon anggur |
Ada sebuah keterangan bahwa Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir adalah teman hidup. apa maksudnya mereka pasangan suami istri? |
Ow ow pantes bikinnya lama, ternyata resensinya indah dan keren begini. Salut untuk Jamal. aku jadi benar2 penasaran pengen beli buku ini. Keren resensinya kang.
BalasHapusWuahh! Mas Dion sll bikin seneng orang dewh..
Hapustapi aq bikinnya lama itu bukan krn review-nya mas.. aq bikin ini semalem aja kug *jumawa* tapi yg bikin lama itu ke'beratan' WORDS ini nih.. dan aq gak seneng kl bkin ripiu sblum menamatkan bukunya :)
Resensinya kerenn. Aku mau mengutip kalimatmu di atas ah, boleh ya? :). Sartre memang sedikit bergaya satire ya tulisannya namun juga mengharukan kisah masa kecilnya. Btw, itu buku Word beneran nangkring di atas pohon anggur? asyiknya.. hehe :)
BalasHapusenggar
Makasih mbak Eggar^^!!
Hapussilahkan mengutip, itu kan aq juga ngutip.. hehew..
iya itu bukunya pgennya aku poto sm buah anggurnya yg mulai bermunculan tp kgak bisa, jd ya jd kyak gtu dewh :P
blognya bagus khas... semoga Jean paul Satre menjadi inspirasi ttg org yg nyeleneh yang tahan dg godaan hadiah... utk sebuah idealisme.. penulis Indonesia yg gaek jg pingin dapat pujian dari jamal Kutubi.....
BalasHapushehe.. makasih mbak, btw ni siapa ya? boleh tau nama FBnya??
HapusRada pusing juga kayaknya. Penuh dengan kata-kata menyulitkan (?)
BalasHapusYang bener bener curious itu kenapa sampe ada beberapa penerbit Indonesia yang menerbitkannya? Dan kenapa bahasa yang satu dengan yang lain itu berbeda? Lagi-lagi pada subjektivitas penerjemahnya...
Ragu mau baca. Jujur.